Oleh Al Faqir: A. Fauzan Dimyathi Arief
Dinasti Politik, secara terminologi bisa diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok keluarga atau kerabat. Dalam literatur sejarah politik dinasti bisa dikategorikan salah satu sistem tertua dalam manajemen tatanan pemerintahan, yang sejarah berbicara identik dengan sebuah sistem kerajaan. Bahkan sudah ada sejak zaman Fir‘aun kuno.
Corak kepemimpinan dinasti politik sangat indentik dengan kerajaan, sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun dari bapak kepada anaknya. Tujuannya agar lingkar kekuasaan tetap berada di sekitar keluarga. Dalam beberapa catatan sejarah dinasti politik menumbuhkan oligarki politik dan suasana yang tidak baik bagi upaya regenerasi kepemimpinan politik secara merdeka, yang mana kekuasaan hanya berlingkup dikuasai oleh orang-orang yang mempunyai pertalian kekerabatan keluarga, tanpa memberikan celah kepada orang lain yang bisa turut andil berpartisipasi. Tidak secara langsung orang lain di bonsai paksa tetap menjadi rakyat sedangkan Raja dan keturunannya tetaplah penguasa. Dia bertujuan membuat legacy generasi dalam keluarganya.
Dampak buruk dalam politik dinasti akan berdampak membuat tidak stabil bagi sebuah sistem pemerintahan karena akan cenderung lebih mudah terjadinya praktek kecurangan, kesemana- menaan, korupsi hingga nepotisme. Dinasti politik awalnya adalah sebuah pola yang ada pada orang-orang terdahulu yang kemudian di upgrade oleh barat maupun pada masyarakat yang meniru gaya barat yang di ubahnya menjadi lebih sistematis.
Dalam sejarah Islam sendiri, tercatat yang pertama kali melakukan dinasti politik atau politik dinasti adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, dengan cara mengangkat anaknya Yazid bin Muawiyah sebagi penggantinya. Walaupun sebetulnya dalam sejarah masa lampau sudah ada pada zaman Nabi Daud Alaihissalaam kepada Nabi Sulaiman Alaihissalam . Atau kisah-kisah lampau yang tercatat pada perjanjian lama.
Meskipun begitu, Muawiyah dan para penerusnya meminjam model yang dilakukan oleh Sayyidina Abu Bakar, yakni pengangkatan waliul ahdi (putra mahkota) menurut Imam Ibnu Katsir sebagai legitimasi, akan tetapi dinasti Umayyah selalu mengangkat putra mahkota berdasarkan hubungan darah, seperti: anak, saudara, atau menantu. Dengan kata lain, bukan karena keshalihan, kecakapan, pengabdian, atau pengorbanan yang pernah diberikannya pada bangsanya.
Perlu diakui, dibanding negara demokrasi modern, ada sejumlah kelemahan tradisi suksesi yang masih dipraktikkan di sebagian dunia Islam dan eropa hingga saat ini: Pertama, kekuasaan yang diwariskan secara turun-temurun. Hal ini mengakibatkan tertutupnya peluang bagi mereka yang tidak memiliki hubungan darah secara langsung dengan penguasa untuk menjadi kepala negara.
Perkembangan politik dinasti tidak lepas dari lemahnya partai politik menjalankan fungsinya. Buruknya proses kaderisasi partai politik dan tiadanya sistem internal partai yang demokratis menyebabkan peluang politik dinasti. Tak ayal, banyak parpol yang mengkader calon kepala daerah hanya berdasarkan citra politik -hubungan kekeluargaan dari mereka yang sedang berkuasa tanpa mempertimbangkan kompetensi dan integritas dan dampak yang akan terjadi kelak.
Demokrasi memang bukan sistem yang sempurna akan tetapi pilihan para pejuang dan pendiri kita dalam mendirikan bangsa sehingga menjadi sebuah keputusan yang terbaik, sehingga apapun yang terjadi dalam fenomena perpolitikan di negara kita saat ini merupakan konsekuensi dari demokrasi itu sendiri.
Dengan alasan demokrasi, semi-semi politik dinasti bisa dijadikan sebuah peluang untuk menciptakan sebuah legacy politik dinasti. Termasuk bebasnya anggota keluarga penguasa siapapun bisa menjadi seseorang dalam pemerintahan yang dia pimpin. Akan tetapi jika semi politik dinasti terus dibiarkan di negara kita bukan tidak mungkin keburukan sejarah politik dinasti terdahulu akan terulang. Nauzubillah
Tabik
Wallahu musta’an. Wallahu ‘alam bishawab